========================================================================
Di kantin sekolah seusai ulangan.
“Hai girls, kok mukanya pada bete gitu?” tanya Yoga. “Exam! I guess!” katanya. Kedua sahabatnya hanya mampu mengangguk, “Yeah, you`re right Yoga! Hahaha... !!! Udah dong, jangan kusut gitu mukanya. Aku traktir, mau?” bujuknya.
“No thank`s” jawab Dewi singkat.
“Ya udah, untung aja kalian nggak mau. Uang saku lebih irit, cuy!” kata Yoga. “Eh, denger – denger kamu punya penggemar ya? Siapa? Anak mana? Orangnya kayak gimana?”
“Heuh... Tanya satu – satu kenapa sih? Udah tau lagi puyeng gini!”
“Iya... Iya... Jadi, dia itu siapa?”
“Nggak tau”
“Anak mana?”
“Nggak tau”
“Yaaah, nol besar nih! Nggak tau sama sekali siapa secret admirernya”
“Namanya juga secret admirer!” timpal Sandra.
“Eh, tapi liat deh. Dia ngasih hadiah ini” sambil membuka bungkusan kecil, “Sapu tangan biru... Sama pensil? Kok pensilnya jelek gini sih!”
“Tunggu, itu `kan sapu tangan kamu Wi? Emang sebelumnya pernah kamu pinjemin?” tanya Sandra.
“Eh iya, dulu pernah aku penjemin ke...”
“Siapa? Oh iya! Kata Ujo, dia anak sini `kan?”
Pikiran Dewi tertuju pada selembar kertas yang ia dapat bersama hadiah itu. Mencoba mencari tahu siapa yang mengirim hadiah itu, tapi percuma saja. Sang secret admirer menulis tiap bait puisi dan inisialnya menggunakan ketikan komputer, sehingga tidak akan terlacak keberadaannya. Hanya satu yang menjadi informasi yakni inisial T.S. Ataukah mungkin T.S itu...
“Dewi, liat deh ke mading! Ada yang spesial buat kamu! Kayaknya sih dari penggemar kamu!” seru Echa.
“Hah? Apaan?”
“Liat aja sendiri, yuk!”
***
Di depan mading, sudah banyak yang berkumpul melihat kejutan untuk Dewi.
“Minggir – minggir!” usir Yoga.
“Permisi yah” kata Dewi.
Dan apa yang dilihatnya di papan mading benar – benar membuatnya ingin menangis. Papan sebesar itu dipenuhi dengan foto – foto Dewi dengan berbagai pose. Mulai dari fotonya saat tiba di sekolah, belajar di kelas, membaca buku di perpustakaan hingga saat makan di kantin. Dan foto dirinya ketika tersenyum, tertawa, menangis, marah sampai saat melamun pun terpampang di sana. Di setiap fotonya terlampir sebait puisi yang menusuk jantung, dan inisial T.S itu sendiri.
Firasatnya mengatakan, seseorang itu adalah dia. Dia yang pernah mengisi kekosongan hatinya, dia yang memiliki hobi dengan kamera digitalnya dan berangan menjadi seorang photographer terkenal. Dia yang saat ini sedang memperhatikannya dari jauh, dia yang ingin mendapatkan kembali cintanya.
Dewi menengok ke belakang, mencari T.S di lantai dua gedung sekolahnya. Akhirnya ia menemukan siapa dia, tatapan matanya tak lepas dari si dia di atas sana. Sadar sebentar lagi air matanya tumpah, ia segera berlari menuju kelas. Mencoba menghindar dari semua ini.
***
Sepanjang pelajaran terakhir tadi, pikiran Dewi melayang. Seolah terputar kembali saat indah bersama Tedy Saputra, mantan pacarnya. Teringat perkenalan mereka saat MOS setahun lalu, saat mereka dekat satu sama lain hingga akhirnya mereka berpacaran.
Kini, di sebuah taman dekat kota. Ia duduk sendiri di bawah pohon yang boleh dibilang sangat bersejarah. Satu tahun lalu, tepatnya 21 Februari 2007, Tedy yang sedang PDKT dengan Dewi, mengajaknya pulang bersama. Tapi bukannya mengantar Dewi sampai ke rumah, ia malah membawa Dewi ke taman dan menunjukkan satu hal yang sangat mengejutkan. Tedy menunjukkan namanya dan Dewi dalam satu bentuk hati di pohon itu. Ia menceritakan bahwa tiap pulang sekolah, ia mengukir nama mereka dengan menggunakan pensil milik Dewi yang ia pinjam. Kemudian Tedy menyatakan cintanya, dan tanpa basa – basi Dewi pun membalas cintanya.
Tapi itu hanya bertahan beberapa bulan. Tedy yang sejak awal mengatakan bahwa dirinya hobi memotret semakin sibuk dengan kegiatannya, apalagi saat ia mengikuti lomba pemotretan sebuah majalah. Waktunya habis dengan bertemankan kamera digital pemberian kakeknya hingga Dewi sering komplain dengan sikapnya. Tapi Tedi terus menjelaskan hingga Dewi bisa menerimanya, sampai akhirnya Dewi kesal dan membentak Tedy.
“Yang pacar kamu siapa sih? Aku atau kamera kakek kamu? Kok kamu lebih banyak ngabisin waktu sama dia! Kamu nggak nyadar, kalo aku di sini capek nungguin kamu!”
“Kok kamu ngomongnya gitu? Aku `kan udah berkali – kali jelasin ke kamu...” ucapnya dengan sabar.
“Tau! Tapi bukan berarti kamu bisa ingkar janji dong! Ini bukan yang pertama atau kedua kali kamu nggak nepatin janji! Ini yang ketiga, SAYANG!” ucapnya sambil menekankan kata ‘sayang’. “Sekarang kamu mau kasih alasan apa lagi?!”
“Kok kamu marah – marah gini sih! Harusnya kamu ngerti dong kenapa aku lebih banyak ngabisin waktu sama kamera ini!”
“Kurang ngerti apa lagi sih! Aku rela panas – panasan buat nemenin kamu, aku mau nungguin kamu berjam – jam, padahal belum tentu hasil fotonya bagus! Kamu tuh yang harusnya ngertiin aku! Aku `kan juga mau cuma berdua sama kamu! Tapi nggak pernah bisa, kamu selalu ingkar janji!”
“OK! Sekarang kamu maunya apa?!”
“Simpen kamera itu, dan temenin aku jalan sekarang!”
“Nggak bisa! Dua minggu lagi deadlinenya dan aku belum dapet gambar yang bagus! Gara – gara kamu juga sih! Dikit – dikit panas! Terus laper! Banyak maunya!”
“Oh, jadi sekarang kamu nyalahin aku! Bagus banget! Aku juga capek makan hati terus kayak gini! Pacaran aja sama kamera!”
“OK! Aku bisa leluasa cari gambar dan kamu nggak perlu repot – repot sama urusanku!” kata Tedy.
Dewi kaget dan terdiam sejenak. Berusaha meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang bermimpi. Dan ini memang bukan mimpi. Dewi menghela napas, menegakkan badan, menatap sepasang mata yang sedang menanti kata apa yang akan terucap.
“Yah, mungkin memang ini lebih baik. Kamu nggak perlu bawa aku dan mikirin aku waktu cari gambar. Maaf kalo aku ngerepotin kamu, makasih udah pernah sayang sama aku...” ucapnya lirih.
Perpisahan mereka sudah berjalan selama tiga bulan ini. Tak terasa air matanya membasahi pipi, Dewi beranjak dari duduknya. Saat melangkahkan kaki, tangan kanannya di tarik oleh seseorang. Dewi membalikkan badan, dan melihat sosok itu. Tedy. Ia menarik tangan Dewi mendekati kursi taman, mengajaknya duduk dan menyeka air matanya dengan sapu tangan yang berada digenggamannya.
“Maafin aku...” ucap Tedy. “Aku nyakitin perasaan kamu” lanjutnya. “Aku baru sadar, kalau ternyata cuma kamu yang bisa ngertiin aku. Cuma kamu yang selalu ada buat aku. Dan memang cuma kamu yang aku mau, kamu yang aku cinta. Aku kehilangan kamu, Dewi...”
Dewi hanya terdiam. Ingin sekali ia memeluk Tedy, tapi tubuhnya membeku.
“Aku mau pulang” kata Dewi singkat.
“Aku anter ya?”
“Nggak usah, makasih”
Ia pun berdiri, berjalan pergi meninggalkan Tedy sendiri. Dalam hatinya berharap Tedy akan memanggilnya dan mengucap kata sayang padanya. Ia mulai berhitung dalam hati. Satu... Dua... Tiga...
“Aku minta maaf Dewi! Aku masih sayang kamu! Aku mau kita balikan lagi kayak dulu!” Tedy berteriak.
Hmphhh... Dewi berhenti, akhirnya kata itu terucap juga. Ia membalikkan badannya, melihat Tedy yang masih memegang sapu tangannya. Ia tersenyum, begitu juga Tedy yang perlahan menghampirinya. Tedy meraih kedua tangannya, kemudian membacakan sebait puisi yang sangat indah.
Kau hadir sebagai cinta, Dewi
Kau ada `tuk lengkapi hati, mewarnai hari
Kau beri senyum terindah kini
Kau hadir sebagai cinta, Dewi
Cinta yang selalu bersemi dihati
Dan mereka pun kembali merajut benang cinta yang pernah terputus. Dewi Amor, yang dalam bahasa Yunani berarti Dewi Cinta, kini mendapatkan cintanya yang pernah hilang.
~ The End ~
Clp, 22 Nov `08
Hadeuh, picisan banget ga sih Rids? ini cerita Oth bikin waktu ada lomba dari salah satu majalah ngga terkenal dari kota ngga keliatan, temanya tentang cinta karena masa2 ababil ini kata yang bikin lomba tuh lagi seru2nya d SMA -,-
dibimbing sama guru yang yahh~ gimana yaa~ yaa gitu deh, anyway thanks bwt tu guru :) u r still a teacher that taught me something
Tidak ada komentar:
Posting Komentar